Mendengar sebuah
cerita dari seorang teman tentang seorang teman, yang (menurutku) menggelikan. Entahlah.
Mungkin aku yang kurang bisa memahami sikap seperti itu, atau mungkin memang
dia yang terlalu berlebihan.
***
Berencana mengajar di sebuah pesantren di daerah yang (lumayan)
pelosok. Dia pun berangkat ke sana dengan tekad yang mungkin setengah bulat. Karena
awalnya dia tak bersedia, tetapi setelah dipujuk akhirnya mau juga. Dan datanglah
ia ke sana, mengenal lingkungan yang mungkin menurutnya sangat jauh dari
bayangannya; tempat yang pelosok, asrama yang ‘menyedihkan’ buat anak-anak,
makanan yang disediakan sungguh (mungkin) membuatnya tak ingin memakannya.
Walhasil, dia pun tak tahan dan pulang ke tempat asalnya;
hari ini datang, besoknya percobaan, besoknya lagi langsung pulang ke kampong halaman.
Fiuuh!!! {bukan orang lapangan ni keknya, :)}
Dosen ekologi lingkunganku (orang lapangan) pernah berkata
yang maksudnya kira-kira; bagusnya jadi orang lapangan, bisa survive di mana
saja. Aku setuju banget. Memang harusnya begitu. Seorang guru, yang dibekali
padanya ilmu pengetahuan, yang ia dituntut untuk menyalurkan ilmunya, harusnya
bisa menempatkan diri di mana saja. Karena tak semua sekolah punya fasilitas
seperti yang kita punya waktu kuliah. Itu salah satunya. Salah duanya J, bahwa dia juga harus
bisa beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggalnya nanti seandainya dia
menjadi guru untuk sebuah daerah yang sangat jauh dari kesempurnaan fasilitas,
inilah survival. Ini juga menuntut sacrifice, pengorbanan.
I felt so lucky that I ever lived at ‘asrama’ sekolah
sewaktu ‘Aliyah dulu. Asrama yang bagi sebagian orang (mungkin) menyedihkan.1
rumah dengan 8 buah kamar, ditempati sekitar 30 orang. Kamar yang ukurannya
hanya sekitar 4x3m, ditempati 4-5 orang, dengan seperangkat peralatan
masing-masing di dalamnya. Can u imagine it??!! Untung saja dapurnya di luar. Kamar
mandi? Hanya satu. Bayangkan bagaimana rebutannya mandi, berkejaran dengan jam
masuk sekolah; 7.15 pagi. Bahkan tak jarang mandi sebelum subuh menjelang.
Ketika kuliah, kosnya pun rasanya tak jauh berbeda dengan
asramaku dulu; suasananya. Rumahnya kecil. Mungkin orang yang melihat dari luar
tak (bisa) percaya kalau rumah itu memiliki 10 kamar. Dengan 2 orang tiap
kamarnya, berarti penduduknya (idealnya) 20 orang. 2 kamar mandi. Seperti di
asrama juga; rebutan ngantri mandi :D. wkwkwkw.
Dan saat ini, aku bersyukur pada Allah atas takdir itu. Memberikanku
banyak sekali pelajaran dan ibrah dari takdir itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan sepatah kata kat sini e....
Terime Kaseh